Langsung ke konten utama

Asupan Pikiran


Ketika Anda merasa lapar dan di hadapan Anda tersaji tiga menu yaitu makanan rumahan, makanan hotel berbintang lima, dan makanan dari keranjang sampah. Mana yang akan Anda pilih?
Ketika pertanyaan ini dilontarkan oleh Dr. Ibrahim dalam seminar dan pelatihan yang Ia gelar, tak seorang pun memilih makanan dari keranjang sampah. Ada yang memilih makanan rumahan dan makanan hotel hotel berbintang. Mengapa demikian? Karena, setiap orang sangat memerhatikan kelangsungan hidupnya. Tak seorang pun memilih sesuatu yang berdampak negative bagi kelangsungan hidupnya.
Namun, Jika manusia benar-benar tidak ingin meletakkan sesuatu yang berbahaya dalam tubuhnya, lalu mengapa ia mengisi pikirannya dengan hal-hal yang berpengaruh negative pada setiap aspek hidupnya, termasuk kesehatan jiwa dan raganya? Mengapa Ia memberi gizi pikirannya dari keranjang sampah? Hal ini bergantung pada proses sebelumnya: orangtua, keluarga, lingkungan, sekolah dan media informasi.
Jadi, kita hampir tak punya pilihan gizi untuk pikiran dan proses perkembangannya. Kini saatnya kita memilih berbagai pikiran seperti halnya kita memilih makanan yang kita santap dan pakaian yang kita kenakan.
Untuk mewujudkan semua itu, kita harus tetap bertawakkal kepada Allah. Kita mulai semua itu dari memahami arti pikiran dan kekuatannya. Pikiran adalah kekuatan.

Dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman, "Katakanlah,”Apakah sama antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? (QS. Al-Zumar: 9)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gelap Malam dan Singsingan Fajar

Sejumlah ulama masyhur berkata bahwa segala bentuk musakat, kepahitan atau kegetiran di muka bumi ini, bagaimana pun bentuk, besar dan lamanya ia, takkan melekat mati pada insan yang dihinggapinya. Justru, semakin berat musibah itu, semakin dekat pula saat-saat ia akan hilang melenyap. Semakin dekat masa-masa indah yang datang menyapa mata dan menyeruakkan kalbu. Sebab, pertolongan Allah dan ihsan itu, acapkali datang tatkala kesulitan dan ujian   sedang berat-beratnya. Bukankah pertolongan Allah itu hadir bagi nabi Musa saat ia dan kaumnya tak mendapati jalan tuk menyelamatkan diri dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya?  Bukankah pertolongan itu nyata Allah turunkan tatkala Namrud hendak  membakar  nabi Ibrahim yang begitu mulia dengan tauhid dan kesabarannya?  Pun bukankah pertolongan itu nyata Allah ulurkan saat bunda Ismail, Siti Hajar, berada di puncak kebingungan dan kecemasan, lelah rasanya berlarian menapaki dan menuruni bukit Safa dan Marwah namun tak juga menemukan sete

Kebaikan Mendatangkan Kebaikan

Suatu hari, seorang bocah miskin bernama  Howard Kelly  sedang berjualan dari rumah ke rumah demi membiayai sekolahnya. Ia merasa lapar dan haus, tetapi ia hanya punya sedikit uang. Ia memutuskan untuk meminta makanan dari rumah terdekat. Tetapi, ketika seorang gadis kecil membukakan pintu, ia mengurungkan niatnya untuk meminta makanan, keberaniannya hilang dalam sesaat. Akhirnya ia hanya meminta segelas air putih untuk menjadi penawar dahaganya. Gadis muda itu berpikir pastilah anak ini merasa lapar, dibawakannyalah segelas besar susu untuknya. Bocah itu meminumnya perlahan lalu bertanya, “Barapa saya berutang kepadamu?” Si gadis menjawab, “Kamu tidak berutang apa pun, ibuku mengajarkan untuk tidak menerima bayaran apa pun dari perbuatan yang kami lakukan.” Belasan tahun belalu,. Si gadis kecil tadi sudah tumbuh dewasa. Suatu ketika dia mengalami sakit yang sangat parah. Dokter yang menanganinya merasa bingung dan akhirnya memutuskan untuk mengirimnya ke sebuah rumah sakit di

Dengan Yang Lebih Baik

Dalam buku La Tahzan karya Dr. 'Aidh al-Qarni, Ibnu Rajab mengisahkan bahwa dahulu kala hiduplah seorang ahli ibadah di tanah Mekkah. Ahli ibadah itu nyaris saja kehabisan bekal dan ditimpa kelaparan. Oleh sebab itu, tubuhnya limbung setiap kali mengayunkan langkah kaki. Namun, saat sedang berjalan di salah satuh gang di kota Mekkah, Ia menemukan seuntai kalung yang begitu indah. Diambilnya kalung itu, lalu beranjak menuju Masjidil Haram. Sesampainya di Masjidil Haram, tiba-tiba seorang lelaki separuh baya mengumumkan bahwa dirinya telah kehilangan sebuah kalung. Orang itu menjelaskan bentuk kalung itu dengan begitu detail. Dan ternyata, dari seluruh keterangan yang disampaikan, semua mengacu kepada kalung yang ditemukan oleh ahli ibadah tersebut. Sang ahli ibadah pun memberikan kalung itu kepada sang empunya dengan sedikit harapan akan diberi apresiasi. Namun, jangankan untuk mendapat apresiasi, ucapan terimakasih sekali pun tak berkatup di bibir pemilik kalung itu. Ia pergi