Pramoedya
Ananta Toer menuturkan bahwa orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak
terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi dan pada pribadi
yang tahu benar akan tujuan hidupnya.
Tuturan Pak Pram itu termirat pada
diri seorang anak yang terlahir dari rahim keluarga yang tak berada. Ayahnya
seorang petani miskin, sedang ibunya hanyalah seorang penggarap lahan di sebuah
desa di Nakamura, Jepang, belaka. Ia bertampang jelek, bertubuh pendek, tak
berpendidikan, tanpa status sosial apapun, bertelinga merah lagi bertubuh
kerempeng, dan berpenampilan amat tidak karuan. Olehnya itu, ia pun dijuluki monyet
oleh orang-orang di sekitarnya. Dialah Hideyoshi Toyotomi.
Meskipun anak yang menyandang nama
asli Kinoshita Tokichiro ini lahir dalam kondisi demikian, walaupun sebagian mata
memandangnya laiknya ditimpa sebuah kutukan, sebab nyaris tak ada kelebihan
yang dapat dijadikan pijakan untuk menatap masa depan, namun tidak pernah ia meratap
sedih atau berkesusahan hati atas keterbatasan-keterbatasan yang ia kenakan itu.
Justru, ia menanam benih-benih tekad dalam dirinya untuk menjadi
seorang pemimpin Jepang di masa mendatang kendatipun ia lahir pada puncak masa
kekacauan, dimana perang saudara berkecamuk di seluruh penjuru Jepang. Saat
itu, kemampuan bertarunglah yang menjadi satu-satunya jalan bagi rakyat kelas bawah
untuk “melarikan diri” dari kehidupan banting tulang sebagai petani. Akan
tetapi, perawakan Hideyoshi yang hanya setinggi 150 senti dan hanya berbobot
lima puluh kilogram lagi bungkuk itu nampaknya menutup peluangnya berkarir di
bidang militer dan menjadi seorang pemimpin. Namun, sejarah mencatat bahwa ia jauh
melesat ke puncak kekuasaan, bahkan menjadi pelopor penyatu tanah Jepang yang
telah tercabik-cabik oleh perang saudara yang tak berkesudahan.
Semangat hidup Toyotomi Hideyoshi
memang begitu mengagumkan. Lika-liku kehidupan sungguh menempanya, membenturnya
dan membentuknya. Sosok yang lahir pada 1536 ini harus berlapang dada tuk melepas
kepulangan ayahnya ke pangkuan Tuhan yang Maha Kuasa saat ia berusia tujuh
tahun. Tak lama sepeninggal ayahnya, sang ibu memutuskan menikah lagi untuk
dapat bertahan hidup.
Akan tetapi, Hideyoshi tampaknya tidak akur dengan ayah tirinya itu.
Ia kerapkali bertengkar dengannya hingga sang ibu khawatir dengan apa yang akan
terjadi bila Hideyoshi terus-menerus bertengkar dengan ayahnya itu. Ibunya khawatir
suatu hari nanti sang ayah tiri tidak mampu menahan diri saat memukuli Si
Hideyoshi kecil. Oleh sebab itu, sang ibu pun meminta Hideyoshi untuk meninggalkan
rumah dan bertolak ke kampung sebelah untuk belajar berdagang kepada sanak
saudaranya. Meski dengan hati yang berat, Hideyoshi pun memenuhi pinta ibunya
itu. Namun, dalam waktu yang tak lama, ia pun kembali berpulang ke rumah. Hideyoshi
dipecat. Kerjanya tak karuan. Ibunya menangis, meraung putus asa.
Perjalanan hidup Hideyoshi barulah bermula tatkala ia berusia lima
belas tahun. Saat itu, ia mengumumkan kepada ibu bahwa ia akan mencari jalan hidupnya
sendiri. Ia berkata, “Aku tidak akan pulang sampai aku berhasil”. Kebulatan
tekadnya itu terpancar dari tatapan matanya yang cukup meyakinkan bahwa tidak
ada alasan yang dapat mengubah pendiriannya itu.
Sebelum mengucapkan selamat tinggal seraya menitikkan air, sang ibu
membekalinya sebuah kantong yang berisi koin tembaga yang cukup untuk membeli
beras selama setahun. Sang ibu tentulah menahu perihal bahaya yang akan dialami
seorang bocah laki-laki saat mengembara seorang diri ke pelosok-pelosok negeri,
dan menaruh rasa khawatir, kalau-kalau mereka tidak akan pernah bertemu lagi.
Maka diberinya uang itu bersama pelukan yang erat. Pelukan hangat antara
seorang ibu dan seorang anak. Itulah warisan terbaik yang dapat diberikan oleh seorang
keluarga petani, betapapun dengan setengah mati ia mendapatinya
Saat itu Hideyoshi mulai sadar betapa dalam kasih sayang dan
pengorbanan sang ibu terhadapnya. Saat itu pulalah - untuk pertama kalinya - ia
berterima kasih dengan setulus-tulusnya kepada sang ibunda, sebelum meninggalkan
Nakamura dengan tekad membuat hidup sang ibu menjadi lebih baik. Ia akan
bekerja sebaik mungkin menuju puncak, membawanya ke luar dari tanah garapan,
dan memberinya kemewahan yang hanya dikenalinya dalam mimpi.
Hideyoshi menapaki jalan terjal kesuksesannya dengan langkah yang
tertatih-tatih. Ia berdagang keliling saat usianya masih lima belas tahun. Ia bekerja
serabutan begitu rupa; dengan mencuci, menarik kereta, dan mengemis demi mengisi
perut yang belum mendapati haknya. Ia bahkan pernah tidur di badan jalan sebab
uang pemberian sang ibunda telah habis.
Akhirnya, tak lama setelah itu, ia pun mendapatkan pekerjaan
betapapun rendah dan singkatnya. Ia berdagang bermacam-macam barang, bekerja
sebagai tukang kayu dan pembuat tong, penjaga ikan keliling, pengrajin logam,
pemotong rumput, pembantu tukang tungku batubara, pedagang minyak keliling dan
pengasah pisau. Berkat pekerjaan-pekerjaan inilah sehingga ia mahir dalam
jual-beli, pandai membaca watak pelanggan dan pemimpin, serta dapat menebak
suasana hati seseorang. Ia menyaksikan kemurahan hati dan keserakahan,
kebersyukuran dan kelicikan, kebaikan dan kejahatan. Lama-kelamaan, wawasannya
tentang kondisi kehidupan manusia menjadi lebih dalam dan halus. Ia memupuk
keahlian dalam membaca sifat segala jenis manusia dan mengambil hati mereka.
Namun, kendatipun demikian, Hideyoshi tetap berpegang teguh pada impiannya
menjadi seorang samurai dan seorang pemimpin. Dengan tujuan yang telah terpatri
di benaknya itu, ia pun memutuskan bertolak ke Sunpu (tempat Klan Imagawa
berada, yang merupakan sebuah keluarga samurai yang berkuasa dan memerintah
tiga provinsi yang berbatasan dengan Samudera Pasifik) untuk mencari
peruntungan hidupnya.
Namun, peruntungan itu justru ia dapatkan di sebuah jembatan tatkala
sedang beristirahat. Saat itu, seorang utusan klan Matsushita yang bernama
Naganori melintas menunggang seekor kuda di hadapannya. Naganori pun menghampirinya
dan tertarik terhadap sosok Hideyoshi sehingga membawa dan memperkenalkannya ke
klan Mitsushita. Lalu, di klan Matsushita, Hideyoshi bekerja sebagai pembawa
sandal, kemudian diangkat menjadi pelayan rumah tangga, dan berakhir sebagai seorang
pemimpin gudang, sebab ia dipecat karena tuduhan-tuduhan kosong dari mulut yang
iri terhadap kesuksesannya yang menanjak begitu cepat.
Pemecatan itu justru menjadi titik balik bagi Hideyoshi untuk
berpulang ke tanah kelahirannya di Owari. Ia mendengar kabar bahwa di sana
hidup seorang panglima muda yang bernama Oda Nobunaga, yang menurutnya tepat
menjadi atasan dan mentor tangguh lagi luar biasa bagi dirinya.
Awal karirnya di klan Oda bermula lewat keberaniannya melompat maju
dan merebahkan diri di hadapan Lord Oda Nobunaga. Ia membungkuk
sebungkuk-bungkunya hingga alisnya menyapu tanah seraya memohon untuk diterima
sebagai salah seorang pekerja atau prajurit di klan Oda, apapun pekerjaan itu.
Dan akhirnya, ia pun diterima sebagai pembawa sandal.
Bergabung di klan Oda adalah gerbang yang menentukan perkembangan
Hideyoshi sebagai seorang pemimpin tertinggi Jepang di masa mendatang. Lord
Nobunaga membantu kesuksesannya karena ia melihat Hideyoshi bekerja dengan
baik, penuh semangat, profesional, solutif, efisien dan efektif. Dan itu buah
dari usaha Hideyoshi yang begitu besar. Ia jarang membaringkan badan, siap
ditugaskan kapan dan dimana saja, dan kerap juga mengcover tugas prajurit lain untuk menjaga Lord Oda Nobunaga. Hal
inilah yang membuatnya dipercaya oleh orang nomor satu di klan Oda tersebut.
Di klan Oda, ia mulanya bekerja sebagai pembawa sandal. Lalu diangkat
menjadi seorang prajurit resmi setelah berhasil memimpin pembangunan benteng
Kiyosu yang nampak mustahil diselesaikan. Selanjutnya, ia pun diangkat menjadi
seorang jenderal setelah sukses membangun benteng Sunomata pada September 1566,
serta berhasil menyusun strategi dan mengalahkan sang lawan.
Setelah Oda Nobunaga terbunuh, Hideyoshi berhasil memimpin misi serangan
balas dendam dan menghancurkan Mitsuhide, sang pengkhianat beserta bala
tentaranya.
Kematian Oda Nobunaga membuat klan Oda kekosongan seorang nahkoda.
Oleh karenanya, Nobutaka dan Nabukatsu, anak kedua dan ketiga Nobunaga dari
selirnya, saling berkompetisi merebut kekuasaan. Hideyoshi yang melihat itu, yang
sekaligus sadar untuk menyelamatkan diri sendiri sebab banyak jenderal yang
antipati terhadapnya, akhirnya membuka suara menengahi perselisihan tersebut. Para
petinggi klan Oda akhirnya setuju dengan pendapat Hideyoshi tuk mengangkat Samboshi
(cucu Nobunaga dari putra Nobutada yang meninggal bersama Nobunaga) sebagai pewaris
sah klan Oda. Sebab Samboshi masihlah seorang bayi, maka Hideyoshi pun ditunjuk
sebagai walinya, sekaligus pemegang kepemimpinan klan Oda sementara waktu,
dalam arti berhasil ke puncak karir yang sejak dulu ia damba.
Setelah menjadi pemimpin klan Oda, Hideyoshi pun melanjutkan
estafet perjuangan dan misi Lord Oda Nobunaga untuk menyatukan dan menciptakan
negeri Jepang yang damai. Perlahan namun pasti, wilayah demi wilayah pun digenggamannya.
Ia menaklukkan klan Chokosabe, klan Shimazu di Kyusu, sukses menggandeng
pemimpin klan Usegi di Echigo, dan juga berhasil menjadikan klan Saito menjadi
sekutu. Bahkan, tiga tahun setelah Lord Oda Nobunaga meninggal, Hideyoshi
berhasil menguasai setengah tanah Jepang, dan pada tahun 1585, ia telah hampir
menguasai wilayah Jepang seluruhnya.
Hideyoshi memang menapaki langkah demi langkah ke puncak. Setelah
hampir menguasai Jepang seluruhnya, ia pun diangkat menjadi seorang wakil
kaisar. Dan setelah menjadi wakil kaisar, ia tetap istiqomah meneruskan estafet
perjuangan misi itu dengan berbagai kebijakan yang ia buat.
Kebijakan-kebijakan yang dibuat Hideyoshi itu diantaranya adalah; melakukan
penyitaan senjata tahun 1588 untuk menguatkan persatuan nasional dan menandai
perbedaan antara sipil dan militer, melakukan program yang memaksa petani
membersihkan ronin di perkampungan, melakukan survei tanah, membenahi infrastruktur negara, meningkatkan sarana
transportasi dan irigasi, memajukan pertumbuhan industri, mengembangkan
kesenian dan budaya, serta mengharamkan perdagangan budak. Pada tahun 1590,
Hideyoshi Toyotomi pun dinobatkan sebagai pemimpin mutlak seluruh Jepang. Akhirnya,
apa yang dahulu diingini hatinya itu, kini terwujud juga.
Hideyoshi memang sosok yang senantiasa menghiasi diri dengan
semangat yang tinggi dalam mencapai impiannya sebagai seorang samurai dan pemimpin
tertinggi di seluruh Jepang. Namun, setelah menampuk kekuasaan, Hideyoshi ternyata
kian berubah.
Nampaknya, kekuasaan telah melenakannya. Ia buta pada motivasi dan
ideologi yang telah membawanya hingga ke puncak. Ia digelapkan oleh satu sisi
mata kesuksesan hingga terperdaya dan terlena dan menemui keruntuhannya sendiri.
Hal itu nampak jelas melalui tindakan-tindakan yang dilakukannya setelah menampuk
kekuasaan mutlak di seluruh Jepang.
Tindakan-tindakan itu diantaranya adalah bahwa ia diperbudak oleh nafsu
untuk memeliki banyak istri meski telah memiliki seorang istri yang cantik lagi
setia. Ia berhasrat membalas dendam terhadap masa lalunya, sebab dahulu tidak
ada wanita yang tertarik padanya. Akhirnya, ia pun memiliki banyak selir
dimana-mana.
Lalu, ia pun larut dalam tegukan-tegukan sake (minuman memabukkan) dan makan dengan sangat berlebihan. Tumbuh
pula benih kesombongan dalam kalbunya. Ketika ia memimpin seluruh Jepang,
terbesit dalam hatinya untuk menunjukkan superioritasnya hingga ke dunia luar,
Korea dan China, yang menyebabkan kepiluan tiada tara dan kurang berkosentrasi membawa
negara dalam kedamaian dan kemakmuran yang lebih tinggi. Pikiran tersebut
dilandasi oleh nafsu menyombongkan diri sebab telah berhasil membawa Jepang ke
era yang lebih makmur.
Selain itu, Hideyoshi juga tidak lagi bersikap tegas untuk
menghindari dan menyelesaikan sebuah pertikaian. Setelah menyatukan Jepang,
perselisihan antara bawahan-bawahan adalah sesuatu yang niscaya yang bermuara
pada sebuah konflik. Namun, Hideyoshi malah membiarkan suasana semakin keruh
dan menyibukkan diri dengan memperturutkan keinginan-keinginan pribadinya.
Bahkan, penyakit rasa cinta yang berlebihan terhadap anak dan tahta
pun membuncahi pikirannya. Penyakit ini lahir dari pengalaman Hideyoshi atas
konflik perebutan kekuasaan setelah kematian Oda Nobunaga sehingga ia melakukan
apapun untuk menjaga keselamatan penerusnya. Demikianlah Hideyoshi setelah
menampuk kekuasaan.
Kisah Hideyoshi ini adalah kisah yang sarat akan pesan moral. Selain
kisah-kisah kesuksesannya yang begitu gemilang nan mengagumkan, kisah-kisah
setelah kepimpinan ia tampuk pun tak kalah mengagumkan lagi. Bahkan lebih
mengagumkan untuk ditelisik.
Sesungguhnya, kisah Hideyoshi ini menguak sebuah fenomena yang begitu
dekat dalam kehidupan sehari-hari kita. Fenomena tentang betapa banyak insan yang
berjuang keras, tertatih-tatih, merangkak dan sangat ulet di fase awal
perintisan kesuksesannya, namun setelah itu tercapai, motivasi untuk berjuang
lebih maju menjadi redup, terkikis, bahkan lenyap menghilang.
Hal yang fatal adalah bahwa setelah mencicipi buah kesuksesan, kita
acapkali lupa pada alasan dan motivasi perjuangan semula. Ideologi,
prinsip-prinsip dan nilai-nilai arif yang kita genggam dahulu perlahan lepas dari
genggaman jari-jemari kita, yang muaranya ialah dekadensi moral, keruntuhan
kejayaan kita. Dan inilah yang terjadi pada diri Hideyoshi Toyotomi dan banyak
orang di sekitar kita.
Siklus bangun runtuh suatu kejayaan peradaban atau seseorang,
sesungguhnya, telah lama disampaikan oleh sang pelopor ilmu sosiologi dan bapak
sejarah dunia, Ibnu Khaldun, melalui teori siklusnya dalam mahakaryanya yang
begitu terkemuka, Mukadimah.
Dalam buku dan teorinya itu, Ibnu Khaldun menerangkan siklus
kebangkitan dan kejatuhan peradaban suatu bangsa hingga peradaban seorang individu.
Teori siklus itu berbicara tentang gambaran kualitas sebuah masyarakat, seorang
pemimpin, suatu generasi hingga seorang individu yang mengalami putaran tahapan
dari generasi perintis atau apa yang penulis sebut jiwa perintis, generasi pembangun
atau jiwa pembangun, generasi penjaga tradisi atau jiwa penjaga tradisi,
generasi atau jiwa penikmat dan terakhir adalah generasi atau jiwa perusak. Dalam
kaitanya dengan kisah Hideyoshi Toyotomi, berikut siklus bangun dan runtuhnya
kejayaan beliau sejak ia merintis, hingga menemui keruntuhan kejayaannya.
Pertama, tahapan merintis. Tahapan ini dimulai saat Hideyoshi
meninggalkan rumah dan mencari peruntungan, lalu bekerja pada klan Matsushita
sebagai pembawa sandal, pengurus pakaian rumah tangga dan pemimpin gudang lalu
dipecat. Kedua, tahapan membangun. Tahapan ini dimulai seusai pemecatannya di
klan Matsushita. Setelah pemecatan itu, Hideyoshi akhirnya bekerja pada Lord Nobunaga
sebagai pembawa sandal. Lalu membantu Nobunaga menaklukkan Imagawa Yoshimono di
Okehazama. Ia berhasil membangun benteng di Sunomata, mengepalai beberapa daerah
di provinsi Omi dan Echizen, menaklukkan benteng Miki dengan ide berliannya,
serta berhasil mengepung dan menaklukkan
benteng Takamatsu. Lalu setelah itu ia menjadi pemimpin tertinggi di klan Oda
setelah meninggalnya Oda Nobunaga yang dibunuh oleh Mitsuhide.
Ketiga adalah masa memupuk dan menikmati, dimana tidak lama setelah
menjadi sosok nomor satu di klan Oda, ia pun dinobatkan sebagai wakil kaisar
dan mutlak menjadi seorang kaisar pada tahun 1590. Keempat adalah masa merusak
atau degradasi, dimana setelah ia menjadi penguasa mutlak seluruh Jepang, ia
pun memperbanyak selir dan larut dalam tegukan
sake dan makanan yang tak biasa. Ia
melakukan invasi ke Korea dan China untuk menambah wilayah teritori kekuasaan. Ia
juga memaksa Hidegatsu bunuh diri dan mengeksekusi seluruh anggota keluarganya
hanya karena berpikir bahwa kekuasaannya akan direbut oleh Hidegatsu padahal dahulu
ia terlampau menyayanginya. Hideyoshi Toyotomi pun wafat pada tahun 1598.
Demikianlah siklus bangun – runtuh kejayaan Hideyoshi Toyotomi,
yang merupakan sebuah fenomena yang begitu dekat dengan kita. Banyak insan yang
berjuang begitu keras, tekun dan begitu gigihnya di fase perintisan, namun ternyata
mereka keliru dalam memupuk buah kesuksesan sehingga terjadi dekadensi moral atau
kemerosotan akhlak yang berujung pada keruntuhan kejayaannya sendiri.
Di lain kesempatan, Ibnu Khaldun juga menambahkan bahwa
faktor-faktor penyebab runtuhnya sebuah peradaban lebih bersifat internal. Suatu
peradaban dapat runtuh sebab timbulnya materialisme, yaitu kegemaran penguasa
dan masyarakat menerapkan gaya hidup malas yang disertai sikap bermewah-mewah. Senada
dengan itu, sejarawan terkemuka Mesir, Dr. Raghib As-Sirjani dalam bukunya yang
berjudul “Qishah Al-Andalus” (Kisah Andalusia), juga menjelaskan bahwa ada tiga
faktor penting yang menyebabkan kejayaan Islam di negeri Andalusia runtuh dan
hanya menyisahkan kenangan pahit nan berkepedihan. Ketiga faktor itu ialah gaya hidup yang mewah dari para
pemimpin Islam, sibuknya umat Muslim dalam urusan dunia dan meninggalkan
semangat jihad, serta merebaknya berbagai kemaksiatan dan kemungkaran yang
dibiarkan. Yang ketika disimpulkan, dapat dikatakan bahwa ambruknya peradaban
Islam terebut disebabkan oleh ambruknya akhlak dalam diri kaum Muslim. Edward
Gibbon pernah berkata, “Kemerosotan moral adalah penyebab hancurnya
bangsa-bangsa di dunia.”
Selain itu, sejarawan Arnold Toynbe pun berhasil membuktikan
kebenaran tesisnya. Ia meneliti lebih dari 21 peradaban hebat yang pernah ada
di dunia. Alhasil, diketahui bahwa 19 dari 21 peradaban itu musnah bukan karena
penaklukan dari luar (not by conquest from without), melainkan melalui
kerusakan moral dari dalam (by moral decay from within).
Maka melalui kisah Hideyoshi Toyotomi ini, semoga kita senantiasa teringat
dan tersadar bahwa seorang insan itu diuji dengan nikmat sebagaimana ia dicoba
dengan bencana. Sebab bila tidak, bisa jadi kita adalah orang-orang yang tidak
menghadirkan diri secara utuh hari ini atas hari-hari kemarin yang telah kita
lalui. Seorang pustakawan pernah berucap bahwa kesulitan menciptakan orang
kuat. Orang kuat menciptakan kemudahan. Kemudahan menciptakan orang lemah.”
Komentar
Posting Komentar