Langsung ke konten utama

Dari Hideyoshi Toyotomi dan Ibn Khaldun

Pramoedya Ananta Toer menuturkan bahwa orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya.
          Tuturan Pak Pram itu termirat pada diri seorang anak yang terlahir dari rahim keluarga yang tak berada. Ayahnya seorang petani miskin, sedang ibunya hanyalah seorang penggarap lahan di sebuah desa di Nakamura, Jepang, belaka. Ia bertampang jelek, bertubuh pendek, tak berpendidikan, tanpa status sosial apapun, bertelinga merah lagi bertubuh kerempeng, dan berpenampilan amat tidak karuan. Olehnya itu, ia pun dijuluki monyet oleh orang-orang di sekitarnya. Dialah Hideyoshi Toyotomi.
          Meskipun anak yang menyandang nama asli Kinoshita Tokichiro ini lahir dalam kondisi demikian, walaupun sebagian mata memandangnya laiknya ditimpa sebuah kutukan, sebab nyaris tak ada kelebihan yang dapat dijadikan pijakan untuk menatap masa depan, namun tidak pernah ia meratap sedih atau berkesusahan hati atas keterbatasan-keterbatasan yang ia kenakan itu.
Justru, ia menanam benih-benih tekad dalam dirinya untuk menjadi seorang pemimpin Jepang di masa mendatang kendatipun ia lahir pada puncak masa kekacauan, dimana perang saudara berkecamuk di seluruh penjuru Jepang. Saat itu, kemampuan bertarunglah yang menjadi satu-satunya jalan bagi rakyat kelas bawah untuk “melarikan diri” dari kehidupan banting tulang sebagai petani. Akan tetapi, perawakan Hideyoshi yang hanya setinggi 150 senti dan hanya berbobot lima puluh kilogram lagi bungkuk itu nampaknya menutup peluangnya berkarir di bidang militer dan menjadi seorang pemimpin. Namun, sejarah mencatat bahwa ia jauh melesat ke puncak kekuasaan, bahkan menjadi pelopor penyatu tanah Jepang yang telah tercabik-cabik oleh perang saudara yang tak berkesudahan.
          Semangat hidup Toyotomi Hideyoshi memang begitu mengagumkan. Lika-liku kehidupan sungguh menempanya, membenturnya dan membentuknya. Sosok yang lahir pada 1536 ini harus berlapang dada tuk melepas kepulangan ayahnya ke pangkuan Tuhan yang Maha Kuasa saat ia berusia tujuh tahun. Tak lama sepeninggal ayahnya, sang ibu memutuskan menikah lagi untuk dapat bertahan hidup.
Akan tetapi, Hideyoshi tampaknya tidak akur dengan ayah tirinya itu. Ia kerapkali bertengkar dengannya hingga sang ibu khawatir dengan apa yang akan terjadi bila Hideyoshi terus-menerus bertengkar dengan ayahnya itu. Ibunya khawatir suatu hari nanti sang ayah tiri tidak mampu menahan diri saat memukuli Si Hideyoshi kecil. Oleh sebab itu, sang ibu pun meminta Hideyoshi untuk meninggalkan rumah dan bertolak ke kampung sebelah untuk belajar berdagang kepada sanak saudaranya. Meski dengan hati yang berat, Hideyoshi pun memenuhi pinta ibunya itu. Namun, dalam waktu yang tak lama, ia pun kembali berpulang ke rumah. Hideyoshi dipecat. Kerjanya tak karuan. Ibunya menangis, meraung putus asa.
Perjalanan hidup Hideyoshi barulah bermula tatkala ia berusia lima belas tahun. Saat itu, ia mengumumkan kepada ibu bahwa ia akan mencari jalan hidupnya sendiri. Ia berkata, “Aku tidak akan pulang sampai aku berhasil”. Kebulatan tekadnya itu terpancar dari tatapan matanya yang cukup meyakinkan bahwa tidak ada alasan yang dapat mengubah pendiriannya itu.
Sebelum mengucapkan selamat tinggal seraya menitikkan air, sang ibu membekalinya sebuah kantong yang berisi koin tembaga yang cukup untuk membeli beras selama setahun. Sang ibu tentulah menahu perihal bahaya yang akan dialami seorang bocah laki-laki saat mengembara seorang diri ke pelosok-pelosok negeri, dan menaruh rasa khawatir, kalau-kalau mereka tidak akan pernah bertemu lagi. Maka diberinya uang itu bersama pelukan yang erat. Pelukan hangat antara seorang ibu dan seorang anak. Itulah warisan terbaik yang dapat diberikan oleh seorang keluarga petani, betapapun dengan setengah mati ia mendapatinya
Saat itu Hideyoshi mulai sadar betapa dalam kasih sayang dan pengorbanan sang ibu terhadapnya. Saat itu pulalah - untuk pertama kalinya - ia berterima kasih dengan setulus-tulusnya kepada sang ibunda, sebelum meninggalkan Nakamura dengan tekad membuat hidup sang ibu menjadi lebih baik. Ia akan bekerja sebaik mungkin menuju puncak, membawanya ke luar dari tanah garapan, dan memberinya kemewahan yang hanya dikenalinya dalam mimpi.
Hideyoshi menapaki jalan terjal kesuksesannya dengan langkah yang tertatih-tatih. Ia berdagang keliling saat usianya masih lima belas tahun. Ia bekerja serabutan begitu rupa; dengan mencuci, menarik kereta, dan mengemis demi mengisi perut yang belum mendapati haknya. Ia bahkan pernah tidur di badan jalan sebab uang pemberian sang ibunda telah habis.
Akhirnya, tak lama setelah itu, ia pun mendapatkan pekerjaan betapapun rendah dan singkatnya. Ia berdagang bermacam-macam barang, bekerja sebagai tukang kayu dan pembuat tong, penjaga ikan keliling, pengrajin logam, pemotong rumput, pembantu tukang tungku batubara, pedagang minyak keliling dan pengasah pisau. Berkat pekerjaan-pekerjaan inilah sehingga ia mahir dalam jual-beli, pandai membaca watak pelanggan dan pemimpin, serta dapat menebak suasana hati seseorang. Ia menyaksikan kemurahan hati dan keserakahan, kebersyukuran dan kelicikan, kebaikan dan kejahatan. Lama-kelamaan, wawasannya tentang kondisi kehidupan manusia menjadi lebih dalam dan halus. Ia memupuk keahlian dalam membaca sifat segala jenis manusia dan mengambil hati mereka.
Namun, kendatipun demikian, Hideyoshi tetap berpegang teguh pada impiannya menjadi seorang samurai dan seorang pemimpin. Dengan tujuan yang telah terpatri di benaknya itu, ia pun memutuskan bertolak ke Sunpu (tempat Klan Imagawa berada, yang merupakan sebuah keluarga samurai yang berkuasa dan memerintah tiga provinsi yang berbatasan dengan Samudera Pasifik) untuk mencari peruntungan hidupnya.
Namun, peruntungan itu justru ia dapatkan di sebuah jembatan tatkala sedang beristirahat. Saat itu, seorang utusan klan Matsushita yang bernama Naganori melintas menunggang seekor kuda di hadapannya. Naganori pun menghampirinya dan tertarik terhadap sosok Hideyoshi sehingga membawa dan memperkenalkannya ke klan Mitsushita. Lalu, di klan Matsushita, Hideyoshi bekerja sebagai pembawa sandal, kemudian diangkat menjadi pelayan rumah tangga, dan berakhir sebagai seorang pemimpin gudang, sebab ia dipecat karena tuduhan-tuduhan kosong dari mulut yang iri terhadap kesuksesannya yang menanjak begitu cepat.
Pemecatan itu justru menjadi titik balik bagi Hideyoshi untuk berpulang ke tanah kelahirannya di Owari. Ia mendengar kabar bahwa di sana hidup seorang panglima muda yang bernama Oda Nobunaga, yang menurutnya tepat menjadi atasan dan mentor tangguh lagi luar biasa bagi dirinya.
Awal karirnya di klan Oda bermula lewat keberaniannya melompat maju dan merebahkan diri di hadapan Lord Oda Nobunaga. Ia membungkuk sebungkuk-bungkunya hingga alisnya menyapu tanah seraya memohon untuk diterima sebagai salah seorang pekerja atau prajurit di klan Oda, apapun pekerjaan itu. Dan akhirnya, ia pun diterima sebagai pembawa sandal.
Bergabung di klan Oda adalah gerbang yang menentukan perkembangan Hideyoshi sebagai seorang pemimpin tertinggi Jepang di masa mendatang. Lord Nobunaga membantu kesuksesannya karena ia melihat Hideyoshi bekerja dengan baik, penuh semangat, profesional, solutif, efisien dan efektif. Dan itu buah dari usaha Hideyoshi yang begitu besar. Ia jarang membaringkan badan, siap ditugaskan kapan dan dimana saja, dan kerap juga mengcover tugas prajurit lain untuk menjaga Lord Oda Nobunaga. Hal inilah yang membuatnya dipercaya oleh orang nomor satu di klan Oda tersebut.
Di klan Oda, ia mulanya bekerja sebagai pembawa sandal. Lalu diangkat menjadi seorang prajurit resmi setelah berhasil memimpin pembangunan benteng Kiyosu yang nampak mustahil diselesaikan. Selanjutnya, ia pun diangkat menjadi seorang jenderal setelah sukses membangun benteng Sunomata pada September 1566, serta berhasil menyusun strategi dan mengalahkan sang lawan.
Setelah Oda Nobunaga terbunuh, Hideyoshi berhasil memimpin misi serangan balas dendam dan menghancurkan Mitsuhide, sang pengkhianat beserta bala tentaranya.
Kematian Oda Nobunaga membuat klan Oda kekosongan seorang nahkoda. Oleh karenanya, Nobutaka dan Nabukatsu, anak kedua dan ketiga Nobunaga dari selirnya, saling berkompetisi merebut kekuasaan. Hideyoshi yang melihat itu, yang sekaligus sadar untuk menyelamatkan diri sendiri sebab banyak jenderal yang antipati terhadapnya, akhirnya membuka suara menengahi perselisihan tersebut. Para petinggi klan Oda akhirnya setuju dengan pendapat Hideyoshi tuk mengangkat Samboshi (cucu Nobunaga dari putra Nobutada yang meninggal bersama Nobunaga) sebagai pewaris sah klan Oda. Sebab Samboshi masihlah seorang bayi, maka Hideyoshi pun ditunjuk sebagai walinya, sekaligus pemegang kepemimpinan klan Oda sementara waktu, dalam arti berhasil ke puncak karir yang sejak dulu ia damba.
Setelah menjadi pemimpin klan Oda, Hideyoshi pun melanjutkan estafet perjuangan dan misi Lord Oda Nobunaga untuk menyatukan dan menciptakan negeri Jepang yang damai. Perlahan namun pasti, wilayah demi wilayah pun digenggamannya. Ia menaklukkan klan Chokosabe, klan Shimazu di Kyusu, sukses menggandeng pemimpin klan Usegi di Echigo, dan juga berhasil menjadikan klan Saito menjadi sekutu. Bahkan, tiga tahun setelah Lord Oda Nobunaga meninggal, Hideyoshi berhasil menguasai setengah tanah Jepang, dan pada tahun 1585, ia telah hampir menguasai wilayah Jepang seluruhnya.
Hideyoshi memang menapaki langkah demi langkah ke puncak. Setelah hampir menguasai Jepang seluruhnya, ia pun diangkat menjadi seorang wakil kaisar. Dan setelah menjadi wakil kaisar, ia tetap istiqomah meneruskan estafet perjuangan misi itu dengan berbagai kebijakan yang ia buat.
Kebijakan-kebijakan yang dibuat Hideyoshi itu diantaranya adalah; melakukan penyitaan senjata tahun 1588 untuk menguatkan persatuan nasional dan menandai perbedaan antara sipil dan militer, melakukan program yang memaksa petani membersihkan ronin di perkampungan, melakukan survei tanah, membenahi infrastruktur negara, meningkatkan sarana transportasi dan irigasi, memajukan pertumbuhan industri, mengembangkan kesenian dan budaya, serta mengharamkan perdagangan budak. Pada tahun 1590, Hideyoshi Toyotomi pun dinobatkan sebagai pemimpin mutlak seluruh Jepang. Akhirnya, apa yang dahulu diingini hatinya itu, kini terwujud juga.
Hideyoshi memang sosok yang senantiasa menghiasi diri dengan semangat yang tinggi dalam mencapai impiannya sebagai seorang samurai dan pemimpin tertinggi di seluruh Jepang. Namun, setelah menampuk kekuasaan, Hideyoshi ternyata kian berubah.
Nampaknya, kekuasaan telah melenakannya. Ia buta pada motivasi dan ideologi yang telah membawanya hingga ke puncak. Ia digelapkan oleh satu sisi mata kesuksesan hingga terperdaya dan terlena dan menemui keruntuhannya sendiri. Hal itu nampak jelas melalui tindakan-tindakan yang dilakukannya setelah menampuk kekuasaan mutlak di seluruh Jepang.
Tindakan-tindakan itu diantaranya adalah bahwa ia diperbudak oleh nafsu untuk memeliki banyak istri meski telah memiliki seorang istri yang cantik lagi setia. Ia berhasrat membalas dendam terhadap masa lalunya, sebab dahulu tidak ada wanita yang tertarik padanya. Akhirnya, ia pun memiliki banyak selir dimana-mana.
Lalu, ia pun larut dalam tegukan-tegukan sake (minuman memabukkan) dan makan dengan sangat berlebihan. Tumbuh pula benih kesombongan dalam kalbunya. Ketika ia memimpin seluruh Jepang, terbesit dalam hatinya untuk menunjukkan superioritasnya hingga ke dunia luar, Korea dan China, yang menyebabkan kepiluan tiada tara dan kurang berkosentrasi membawa negara dalam kedamaian dan kemakmuran yang lebih tinggi. Pikiran tersebut dilandasi oleh nafsu menyombongkan diri sebab telah berhasil membawa Jepang ke era yang lebih makmur.
Selain itu, Hideyoshi juga tidak lagi bersikap tegas untuk menghindari dan menyelesaikan sebuah pertikaian. Setelah menyatukan Jepang, perselisihan antara bawahan-bawahan adalah sesuatu yang niscaya yang bermuara pada sebuah konflik. Namun, Hideyoshi malah membiarkan suasana semakin keruh dan menyibukkan diri dengan memperturutkan keinginan-keinginan pribadinya.
Bahkan, penyakit rasa cinta yang berlebihan terhadap anak dan tahta pun membuncahi pikirannya. Penyakit ini lahir dari pengalaman Hideyoshi atas konflik perebutan kekuasaan setelah kematian Oda Nobunaga sehingga ia melakukan apapun untuk menjaga keselamatan penerusnya. Demikianlah Hideyoshi setelah menampuk kekuasaan.
Kisah Hideyoshi ini adalah kisah yang sarat akan pesan moral. Selain kisah-kisah kesuksesannya yang begitu gemilang nan mengagumkan, kisah-kisah setelah kepimpinan ia tampuk pun tak kalah mengagumkan lagi. Bahkan lebih mengagumkan untuk ditelisik.
Sesungguhnya, kisah Hideyoshi ini menguak sebuah fenomena yang begitu dekat dalam kehidupan sehari-hari kita. Fenomena tentang betapa banyak insan yang berjuang keras, tertatih-tatih, merangkak dan sangat ulet di fase awal perintisan kesuksesannya, namun setelah itu tercapai, motivasi untuk berjuang lebih maju menjadi redup, terkikis, bahkan lenyap menghilang.
Hal yang fatal adalah bahwa setelah mencicipi buah kesuksesan, kita acapkali lupa pada alasan dan motivasi perjuangan semula. Ideologi, prinsip-prinsip dan nilai-nilai arif yang kita genggam dahulu perlahan lepas dari genggaman jari-jemari kita, yang muaranya ialah dekadensi moral, keruntuhan kejayaan kita. Dan inilah yang terjadi pada diri Hideyoshi Toyotomi dan banyak orang di sekitar kita.
Siklus bangun runtuh suatu kejayaan peradaban atau seseorang, sesungguhnya, telah lama disampaikan oleh sang pelopor ilmu sosiologi dan bapak sejarah dunia, Ibnu Khaldun, melalui teori siklusnya dalam mahakaryanya yang begitu terkemuka, Mukadimah.
Dalam buku dan teorinya itu, Ibnu Khaldun menerangkan siklus kebangkitan dan kejatuhan peradaban suatu bangsa hingga peradaban seorang individu. Teori siklus itu berbicara tentang gambaran kualitas sebuah masyarakat, seorang pemimpin, suatu generasi hingga seorang individu yang mengalami putaran tahapan dari generasi perintis atau apa yang penulis sebut jiwa perintis, generasi pembangun atau jiwa pembangun, generasi penjaga tradisi atau jiwa penjaga tradisi, generasi atau jiwa penikmat dan terakhir adalah generasi atau jiwa perusak. Dalam kaitanya dengan kisah Hideyoshi Toyotomi, berikut siklus bangun dan runtuhnya kejayaan beliau sejak ia merintis, hingga menemui keruntuhan kejayaannya.
Pertama, tahapan merintis. Tahapan ini dimulai saat Hideyoshi meninggalkan rumah dan mencari peruntungan, lalu bekerja pada klan Matsushita sebagai pembawa sandal, pengurus pakaian rumah tangga dan pemimpin gudang lalu dipecat. Kedua, tahapan membangun. Tahapan ini dimulai seusai pemecatannya di klan Matsushita. Setelah pemecatan itu, Hideyoshi akhirnya bekerja pada Lord Nobunaga sebagai pembawa sandal. Lalu membantu Nobunaga menaklukkan Imagawa Yoshimono di Okehazama. Ia berhasil membangun benteng di Sunomata, mengepalai beberapa daerah di provinsi Omi dan Echizen, menaklukkan benteng Miki dengan ide berliannya, serta  berhasil mengepung dan menaklukkan benteng Takamatsu. Lalu setelah itu ia menjadi pemimpin tertinggi di klan Oda setelah meninggalnya Oda Nobunaga yang dibunuh oleh Mitsuhide.
Ketiga adalah masa memupuk dan menikmati, dimana tidak lama setelah menjadi sosok nomor satu di klan Oda, ia pun dinobatkan sebagai wakil kaisar dan mutlak menjadi seorang kaisar pada tahun 1590. Keempat adalah masa merusak atau degradasi, dimana setelah ia menjadi penguasa mutlak seluruh Jepang, ia pun memperbanyak selir dan larut dalam  tegukan sake dan makanan yang tak biasa. Ia melakukan invasi ke Korea dan China untuk menambah wilayah teritori kekuasaan. Ia juga memaksa Hidegatsu bunuh diri dan mengeksekusi seluruh anggota keluarganya hanya karena berpikir bahwa kekuasaannya akan direbut oleh Hidegatsu padahal dahulu ia terlampau menyayanginya. Hideyoshi Toyotomi pun wafat pada tahun 1598.
Demikianlah siklus bangun – runtuh kejayaan Hideyoshi Toyotomi, yang merupakan sebuah fenomena yang begitu dekat dengan kita. Banyak insan yang berjuang begitu keras, tekun dan begitu gigihnya di fase perintisan, namun ternyata mereka keliru dalam memupuk buah kesuksesan sehingga terjadi dekadensi moral atau kemerosotan akhlak yang berujung pada keruntuhan kejayaannya sendiri.
Di lain kesempatan, Ibnu Khaldun juga menambahkan bahwa faktor-faktor penyebab runtuhnya sebuah peradaban lebih bersifat internal. Suatu peradaban dapat runtuh sebab timbulnya materialisme, yaitu kegemaran penguasa dan masyarakat menerapkan gaya hidup malas yang disertai sikap bermewah-mewah. Senada dengan itu, sejarawan terkemuka Mesir, Dr. Raghib As-Sirjani dalam bukunya yang berjudul “Qishah Al-Andalus” (Kisah Andalusia), juga menjelaskan bahwa ada tiga faktor penting yang menyebabkan kejayaan Islam di negeri Andalusia runtuh dan hanya menyisahkan kenangan pahit nan berkepedihan. Ketiga faktor  itu ialah gaya hidup yang mewah dari para pemimpin Islam, sibuknya umat Muslim dalam urusan dunia dan meninggalkan semangat jihad, serta merebaknya berbagai kemaksiatan dan kemungkaran yang dibiarkan. Yang ketika disimpulkan, dapat dikatakan bahwa ambruknya peradaban Islam terebut disebabkan oleh ambruknya akhlak dalam diri kaum Muslim. Edward Gibbon pernah berkata, “Kemerosotan moral adalah penyebab hancurnya bangsa-bangsa di dunia.”
Selain itu, sejarawan Arnold Toynbe pun berhasil membuktikan kebenaran tesisnya. Ia meneliti lebih dari 21 peradaban hebat yang pernah ada di dunia. Alhasil, diketahui bahwa 19 dari 21 peradaban itu musnah bukan karena penaklukan dari luar (not by conquest from without), melainkan melalui kerusakan moral dari dalam (by moral decay from within).
Maka melalui kisah Hideyoshi Toyotomi ini, semoga kita senantiasa teringat dan tersadar bahwa seorang insan itu diuji dengan nikmat sebagaimana ia dicoba dengan bencana. Sebab bila tidak, bisa jadi kita adalah orang-orang yang tidak menghadirkan diri secara utuh hari ini atas hari-hari kemarin yang telah kita lalui. Seorang pustakawan pernah berucap bahwa kesulitan menciptakan orang kuat. Orang kuat menciptakan kemudahan. Kemudahan menciptakan orang lemah.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gelap Malam dan Singsingan Fajar

Sejumlah ulama masyhur berkata bahwa segala bentuk musakat, kepahitan atau kegetiran di muka bumi ini, bagaimana pun bentuk, besar dan lamanya ia, takkan melekat mati pada insan yang dihinggapinya. Justru, semakin berat musibah itu, semakin dekat pula saat-saat ia akan hilang melenyap. Semakin dekat masa-masa indah yang datang menyapa mata dan menyeruakkan kalbu. Sebab, pertolongan Allah dan ihsan itu, acapkali datang tatkala kesulitan dan ujian   sedang berat-beratnya. Bukankah pertolongan Allah itu hadir bagi nabi Musa saat ia dan kaumnya tak mendapati jalan tuk menyelamatkan diri dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya?  Bukankah pertolongan itu nyata Allah turunkan tatkala Namrud hendak  membakar  nabi Ibrahim yang begitu mulia dengan tauhid dan kesabarannya?  Pun bukankah pertolongan itu nyata Allah ulurkan saat bunda Ismail, Siti Hajar, berada di puncak kebingungan dan kecemasan, lelah rasanya berlarian menapaki dan menuruni bukit Safa dan Marwah namun tak juga menemukan sete

Kebaikan Mendatangkan Kebaikan

Suatu hari, seorang bocah miskin bernama  Howard Kelly  sedang berjualan dari rumah ke rumah demi membiayai sekolahnya. Ia merasa lapar dan haus, tetapi ia hanya punya sedikit uang. Ia memutuskan untuk meminta makanan dari rumah terdekat. Tetapi, ketika seorang gadis kecil membukakan pintu, ia mengurungkan niatnya untuk meminta makanan, keberaniannya hilang dalam sesaat. Akhirnya ia hanya meminta segelas air putih untuk menjadi penawar dahaganya. Gadis muda itu berpikir pastilah anak ini merasa lapar, dibawakannyalah segelas besar susu untuknya. Bocah itu meminumnya perlahan lalu bertanya, “Barapa saya berutang kepadamu?” Si gadis menjawab, “Kamu tidak berutang apa pun, ibuku mengajarkan untuk tidak menerima bayaran apa pun dari perbuatan yang kami lakukan.” Belasan tahun belalu,. Si gadis kecil tadi sudah tumbuh dewasa. Suatu ketika dia mengalami sakit yang sangat parah. Dokter yang menanganinya merasa bingung dan akhirnya memutuskan untuk mengirimnya ke sebuah rumah sakit di

Dengan Yang Lebih Baik

Dalam buku La Tahzan karya Dr. 'Aidh al-Qarni, Ibnu Rajab mengisahkan bahwa dahulu kala hiduplah seorang ahli ibadah di tanah Mekkah. Ahli ibadah itu nyaris saja kehabisan bekal dan ditimpa kelaparan. Oleh sebab itu, tubuhnya limbung setiap kali mengayunkan langkah kaki. Namun, saat sedang berjalan di salah satuh gang di kota Mekkah, Ia menemukan seuntai kalung yang begitu indah. Diambilnya kalung itu, lalu beranjak menuju Masjidil Haram. Sesampainya di Masjidil Haram, tiba-tiba seorang lelaki separuh baya mengumumkan bahwa dirinya telah kehilangan sebuah kalung. Orang itu menjelaskan bentuk kalung itu dengan begitu detail. Dan ternyata, dari seluruh keterangan yang disampaikan, semua mengacu kepada kalung yang ditemukan oleh ahli ibadah tersebut. Sang ahli ibadah pun memberikan kalung itu kepada sang empunya dengan sedikit harapan akan diberi apresiasi. Namun, jangankan untuk mendapat apresiasi, ucapan terimakasih sekali pun tak berkatup di bibir pemilik kalung itu. Ia pergi